Kamis, 12 Januari 2012

.

Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual di Era Jaringan Digital*

*esai ini adalah potongan yang belum selesai dari sebuah bakal calon proposal skripsi.
Sejarah Internet
Pada tahun 1969, teknologi Internet awalnya dibuat sebagai sebuah sistem jaringan militer AS untuk memudahkan proses komunikasi dan berbagi informasi rahasia. Teknologi jaringan ini terus dikembangkan ahli informatika dan di awal tahun 1980, PC (personal computer atau komputer pribadi) mewabah; membuat komputer dan teknologi Internet menjamur, khususnya di Amerika. Terhitung sejak saat itu, tahun 1988 muncul IRC (Internet Relay Chat) yang membuat seluruh pengguna Internet di seluruh dunia dapat berkomunikasi via chatting room. Teknologi ini membuat jumlah komputer yang saling terhubung melonjak 10 kali lipat. Tahun 1992, jaringan komputer yang terhubung sudah mencapai lebih dari satu juta pengguna, dan tahun 1994 pertumbuhan situs Internet telah mencapai 3000 halaman dan di tahun yang sama situs Yahoo! didirikan. Dunia pun berubah.
Perubahan yang paling mendasar, awalnya ialah tentang konsep ruang dan waktu manusia modern. Dunia seakan-akan menjadi datar. Pertukaran informasi, pengetahuan dan kebudayaan mengalami revolusi. Teknologi e-mail dan kehadiran berbagai search engine (mesin pencari) memberi banyak kemudahan bagi transfer ilmu pengetahuan antar bangsa antar benua. Semua pengguna Internet saling terhubung.
Sejak kemunculan pertama kalinya, teknologi Internet didasarkan pada konsep “berbagi” (sharing). Pada tahun 1980-1990an, awalnya teknologi ini kebanyakan dimanfaatkan untuk berkomunikasi. Tahun 2000, sejak blogging menjadi kegiatan yang populer, Internet dimanfaatkan sebagai media untuk saling bertukar informasi. Mesin pencari seperti Google dan Yahoo! menjadi portal pertukaran informasi dunia, setiap orang yang mem-posting tulisan, gambar atau musik di blog-nya sebenarnya secara sukarela sedang membagikan informasinya kepada siapapun yang sengaja atau tidak sengaja menghampiri blognya. Tahun 2001, ensiklopedia online yang kini sering digunakan sebagai acuan akademis muncul, Wikipedia1. Wikipedia merupakan situs dimana semua orang dapat menyunting, memperbaiki dan menambah informasi hanya dengan mengklik pranala sunting pada setiap laman. Dan terbukti, secara sukarela tanpa dibayar, dengan semangat berbagi, ribuan bahkan jutaan orang bersama-sama berbagi pengetahuan di Wikipedia. Yochai Benkler, dalam The Wealth Of Network menyebut bahwa wikipedia adalah salah satu contoh bentuk social production (produksi sosial) di masa kontemporer.
Hak Kekayaan Intelektual di Era Digital
Jika kita mengetik kata “copyright” di Google, akan muncul 10.010.000.000 laman yang mengandung kata tersebut. Sementara sex, kata “umum” yang cukup populer dicari di Internet hanya mencapai 1.950.000.000 laman. Mari kita coba kata “Jesus”. 406.000.000 laman. Bagaimana dengan Muhammad SAW? 10.700.000 laman.2 Melihat beberapa perbandingan dari penelitian iseng ini, tidakkah anda agak berpikir bahwa kata “copyright” digunakan dengan sedikit berlebihan di Internet?
Seperti yang telah saya singgung di atas, teknologi Internet adalah teknologi yang berbasis pada kesadaran untuk berbagi, para digital natives (generasi yang lahir dan hidup di era Internet) adalah generasi yang hidup dalam kultur menggunggah dan mengunduh. Sementara, konsep berbagi dalam banyak hal bertentangan dengan konsep hak kekayaan intelektual (HAKI). Konsep HAKI awalnya muncul tahun 17103 di Inggris dalam Statute of Anne, dimana undang-undang ini hanya mengatur hak untuk mencetak buku bagi perusahaan penerbitan. Pada undang-undang tersebut, jangka waktu hak eksklusif penerbitan sebuah karya dibatasi selama 14 tahun. Setelah melewati batas waktu 14 tahun, karya tersebut menjadi akan milik publik. Tidak ada yang terlalu aneh dalam logika ini. Misalnya, Shakespeare menulis Romeo and Juliet sendiri, tanpa memakai atau mencuri ide orang lain. Jadi tidak aneh jika ia4 ingin mematenkan buku Romeo and Juliet, agar Romeo and Juliet tidak dianggap sebagai karya orang lain dan dapat dicetak penerbit lain untuk memperoleh keuntungan tanpa melakukan apa-apa. Perlu digarisbawahi, Statute of Anne mengatur hanya hak untuk mencetak dan menerbitkan suatu karya. Pada perkembangannya, saat ini hukum HAKI mengatur bukan hanya hak untuk mencetak dan menerbitkan, tapi juga hak untuk menggunakan kembali, mengapropriasi, menerjemahkan atau menyadur. Sebagai contoh kasar, misalnya saya ingin membuat film Romeo dan Juliet, maka saya harus meminta ijin pada pemilik HAKI Romeo and Juliet serta membayar sejumlah uang sesuai kesepakatan. Padahal, yang saya lakukan adalah menggunakan kembali, bukan menyalin persis karya Shakespeare. Dan dengan menggunakan kembali, bukankah sebenarnya karya Shakespeare adalah inspirasi dalam karya saya, bukan karya itu sendiri. Dengan demikian, salah satu permasalahan mendasar disini ialah makna dari menyalin, mengadopsi, mengapropriasi dan menggunakan kembali yang perlu dicermati ulang. Contoh lain yang lebih gamblang, ketika Ahmad Dani membuat lagu berjudul “Arjuna Mencari Cinta”, Yudhistira Massardi pengarang novel dengan judul yang sama, tiba-tiba menuntut Dani karena telah menggunakan judul yang sama pada lagunya. Bagi saya pola pikir macam ini perlu dipertanyakan. Batas-batas antara menyalin, menggunakan kembali, mengapropriasi perlu dipertegas dan dipertanyakan ulang dalam konsep HAKI kontemporer. Dan bagi masyarakat sendiri, kita perlu merefleksikan apa itu makna originalitas dan apa itu konsep “baru”? Ingatkah anda dengan pepatah “nothing new under the sun”? Adakah yang benar-benar baru di dunia ini? Bukankah mengkopi adalah dasar dari cara kita belajar berbicara dan berjalan? Bagaimana jika suatu ketika seseorang mematenkan teknik berbicara? Apakah kita harus membayar ketika kita ingin mengajarkan anak kita bagaimana cara berbicara? Bagaimana jika Kurt Cobain mematenkan gaya berpakaian kemeja flanel dan celana rombeng? Apakah fans-fans Nirvana harus membayar pada pemilik HAKI gaya grunge ini?
Permasalahan HAKI menjadi lebih rumit di era digital. Penyebaran informasi, pengetahuan dan kebudayaan menjadi lebih mudah dan sederhana. Sementara, jika kita mengacu pada hukum “lama” HAKI, maka kultur berbagi ini adalah sesuatu yang ilegal. Generasi digital natives memproduksi kebudayaannya dengan cara mengunduh dan mengunggah. Saya, seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang membuat skripsi perlu mengunduh banyak e-book yang kopi aslinya terlalu mahal atau bahkan tidak ada di Indonesia sebagai bahan referensi. Para pembuat film dan musisi mengunduh film dan lagu alternatif yang CD atau kasetnya tidak diproduksi di Indonesia. Di bidang seni rupa, gerakan dadaisme dan pop art banyak melakukan adopsi dan apropriasi terhadap karya-karya kebudayaan popular. Kami–kita– hidup dalam kultur berbagi informasi. Hukum HAKI yang kini berkembang adalah sebuah bentuk monopoli dagang yang menghambat munculnya produksi-produksi kebudayaan “baru”. Munculnya Internet memunculkan moda penciptaan alternatif. Misal saja Girltalk, seorang musisi Amerika dengan nama asli Gregg Gillis yang memproduksi musik dengan cara menggabungkan berbagai macam materi musik dari musisi lain (moda ini disebut mash-up). Gregg Gillis mendapat beberapa tuntutan hukum dari pemegang HAKI materi musik yang ia gunakan, namun ia justru mendapat banyak dukungan dan simpati dari berbagai aktivis yang mengritisi persoalan HAKI.5
Kontroversi HAKI di era digital telah membuat pemikir dan akademisi memeriksa dan bahkan mendesain ulang hukum HAKI. Lawrence Lessig, seorang pengacara dan profesor hukum Harvard menciptakan lisensi alternatif berbasis Internet yang disebut Creative Common Lisence (selanjutnya disebut CC). Berbeda dengan HAKI konvensional, CC memberi beberapa alternatif dalam memproteksi sebuah karya. Dalam perjanjian CC, seorang produsen karya bisa memilih apakah ia ingin memegang hak penuh atas karyanya, mengijinkan seseorang untuk menyalin namun dengan atribusi, atau mengijinkan seseorang untuk menambah atau membuat karya lain berdasarkan karyanya. Latar belakang CC dapat dibaca pada buku yang ditulis Lessig, berjudul Free Culture, dimana “free” atau “bebas” disini tidak diartikan sebagai bebas sebebas-bebasnya (seperti free beer, misalnya), melainkan “free” dalam arti “free trade”, “free market” atau “free will”. Kebebasan yang memiliki batas tertentu, kebebasan yang juga menguntungkan para penemu, penulis atau seniman. Lessig berargumen bahwa ketatnya hukum HAKI konvensional (yang dilahirkan oleh liberalisasi perdagangan) dapat “tertusuk pedangnya sendiri”, sebab liberalisasi perdagangan sebetulnya berdasarkan pada penemuan dan inovasi. Tanpa penemuan dan inovasi, persaingan bebas tidak akan kemana-mana, yang terjadi hanyalah monopoli. Atas dasar argumen ini Lessig menciptakan lisensi yang lebih “longgar”.6
Dari sekelumit pemikiran Benkler dan Lessig, setidaknya kita mendapat gambaran bagaimana permasalahan dan kontroversi HAKI dewasa ini. Sebagai orang Indonesia, barangkali permasalahan ini terdengan asing atau bahkan tidak penting. Bagaimana tidak, pembajakan film, musik dan buku adalah hal yang sangat lumrah di Indonesia, dan kita melakukannya dengan biasa saja; tanpa ideologi untuk melawan rezim HAKI, meskipun Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia sudah ada. Hal ini barangkali disebabkan karena penegakan hukum di Indonesia yang belum sempurna. Namun perlu kita ketahui pula, sejak tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Bern (perjanjian di bidang hak cipta dan yang terkait dengan hak cipta di bawah yuridiksi World Intellectual Property Organization). Apakah anda masih belum merasa terancam? Barangkali tidak. Namun, saya pikir kita sebagai bagian dari kebudayaan dunia (apalagi setelah munculnya Internet) perlu turut memikirkan permasalahan ini agar tidak menjadi korban dari rezim HAKI dengan menyiapkan argumen-argumen yang memadai.
Saya, secara khusus dalam kajian filsafat, tertarik untuk menelisik beberapa permasalahan yang tidak begitu praktis terkait hukum HAKI itu sendiri. Secara lebih mengakar saya tertarik untuk mencermati makna originalitas dan ke-baru-an secara historis dan perdebatan wacana filsafat di dalamnya. Dengan demikian maka saya juga ingin mempertanyakan batas-batas antara menyalin, mengapropriasi dan mengadopsi dalam produksi kebudayaan. Dari sini, saya melihat bahwa konsep berbagi dalam kultur telah memberi sumbangan dalam moda produksi kebudayaan alternatif sehingga menarik pula selain memahami “apa” yang dibagi, tapi juga memahami “proses” berbagi itu sendiri. Saya ingin mengetahui histrorisitas kultur berbagi dalam produksi kebudayaan dan bagaimana prospek kultur ini ke depan.

1Perdebatan apakah Wikipedia dapat digunakan sebagai acuan akademis masih berlangsung.
2 Informasi didapat apda tanggal 7 April 2011, dan kemungkinan akan terus berubah namun tetap dalam dinamika yang sama.
3Sebetulnya pada tahun 1421 sudah ada prototype HAKI di Florence, Italia. Namun terma “copyrights” baru benar-benar muncul dalam Statute of Anne.
4“Ia” disini, bisa diartikan sebagai penerbit yang memiliki hak atas karya Shakespeare. Dalam praktiknya, tak jarang penerbitlah yang mendapat keuntungan lebih banyak daripada penulis bukunya sendiri. Jadi apakah HAKI melindungi dan menguntungkan penulis, perlu dipertanyakan kembali.
5Girltalk juga merevolusi industri musik dengan membiarkan para pembeli yang menentukan harga album musiknya (semacam sistem donasi). Hal yang sama dilakukan grup band Radiohead, dan terbukti musisi tetap bisa meraih keuntungan finansial melalui proses distribusi semacam ini.
6Walau demikian, Creative Common Lisence masih menuai kritik dari akademisi yang menganggap bahwa CC hanyalah HAKI berkedok “free culture”, sebab CC masih mengijinkan produsen untuk memegang hak penuh atas karyanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar